Hardiknas dan Ki Hadjar Dewantara

Mei 02, 2016




Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ini adalah momentum yang sangat tepat untuk melihat refleksi pendidikan di Indonesia saat ini.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Suwardi Suryaningrat), sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal dunia pada tanggal 26 April 1959. Kancah perjuangan Ki Hadjar Dewantara meliputi dunia politik, jurnalistik, dan pendidikan. Pada dunia politik dan jurnalistik, Beliau lebih dikenal sebagai R.M. Suwardi Suryaningrat.

Karena keanggotaannya dalam Indische Partij dan aktivitasnya yang menetang usaha-usaha perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas jajahan Perancis dengan tulisannya yang berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), maka ia diasingkan ke negeri Belanda bersama Dr. Tjipto Mangunkusumo dan E.F.E. Douwes Dekker (Danudirdjo Setyabudhi) pada tahun 1913.

Dalam pengasingan pada tahun 1913-1919 tersebut, Beliau aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Di sinilah Beliau merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi. Dalam studinya ini, Beliau terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan Montessori. Beliau juga mengadakan orientasi tentang Santi Ni Setan ciptaan Tagore di India sebagai pergerakan pendidikan India.

Sepulang dari pengangsingan, Beliau bergabung dengan suatu kelompok mistik Jawa di Yogyakarta yaitu “Gerombolan Selasa Kliwon”. Kelompok mistik ini menganggap perlu diciptakannya suau sistem pendidikan yang benar-benar bersifat pribumi (yakni yang non-pemerintah dan non-Islam).

Setelah Taman Siswa berdiri pada tahun 1922, maka mereka membubarkan diri, karena berpendapat dengan lahirnya Taman Siswa itu terwujudlah sudah cita-cita mereka. Perjuangan Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis pendidikan nasional diwujudkan dalam bentuk pendirian Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Mewujudkan sebuah lembaga nasional pada saat masih dalam cengkraman kekuasaan kolonial bukan saja tindakan sangat berani tetapi juga penuh resiko.

Ki Hadjar Dewantara ingin mewujudkan sebuah sistem pendidikan nasional yang tidak untuk kepentingan kolonialisme. Tujuan utamanya ialah menanamkan jiwa merdeka bagi anak-anak bangsa pribumi. Ki Hadjar Dewantara sesungguhnya memiliki pandangan yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional yang kita jalankan saat ini. Saat ini kita lebih banyak mencontoh dan mengacu pada sistem pendidikan negara lain. Padahal, Ki Hadjar Dewantara dahulu menginginkan sistem pendidikan kita berakar dari budaya, kebiasaan dan norma Indonesia dari Sabang sampai Merauke.





Dengan tiada menolak apa yang asing yang berguna untuk memperkaya jiwa bangsanya, ditumpukan pendidikan pada usaha membangun jati diri bangsa. Ki R. Suharto menjelaskan jika pendidikan mengacu pada ajaran Ki Hadjar Dewantara, maka kesusksesan pendidikan tergantung dari tri pusat pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Tiga komponen itu harus mendukung satu sama lain, sinkron.


Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, Beliau pun dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.

Sumber:
_____. 2016. Melihat Nasib Pendidikan di Indonesia, (Online), (http://www.kompasiana.com/kompasiana/melihat-nasib-pendidikan-di-indonesia_5726cfdeb37a61c3043a5599), diakses pada 2 Mei 2016.
Marfuah. S. 2016. Apakah Sudah Tepat “Hari Pendidikan Nasional” Diperingat Pada Tanggal Mei?, (Online), (http://www.kompasiana.com/www.marfuahst.com/apakah-sudah-tepat-hari-pendidikan-nasional-diperingati-pada-tanggal-2-mei_552e33436ea834cd1d8b4572), diakses pada 2 Mei 2016.
Prabowo. 2016.  Hardiknas, Masyarakat Tak Hargai Ki Hadjar Dewantara, (Online), diakses pada 2 Mei 2016.

You Might Also Like

0 komentar